Catatan Reportase :

Surat Dari Alaska (4) :

 

Juneau, 27 April 2001 - 23:00 (28 April 2001 – 14:00 WIB)           

 

Jum’at pagi ini cuaca kota Juneau tidak terlalu cerah. Sama seperti beberapa hari kemarin. Sesekali cahaya matahari menerangi bumi Alaska, tetapi lebih sering tertutup awan dengan rintik-rintik hujan. Pagi hingga siang hari suhu udara berkisar di angka 43 derajat Fahrenheit (sekitar 6 derajat Celcius). Cukup membuat saya kedinginan kalau berlama-lama di tempat terbuka, meskipun sudah mengenakan jaket.

 

Akan tetapi karena ya memang sudah diniati ingin memanfaatkan waktu hari bebas hari ini, maka tetap saja saya merencanakan untuk keluar melihat-lihat sisi lain dari kawasan kota Juneau ini. Sebelumnya saya memang sudah janjian dengan sopir hotel yang orang Philipina. Bahwa hari ini dia off dari kerja paruh waktunya sebagai sopir di hotel dan bersedia menemani saya jalan-jalan.

 

Wah, ya tentu saja tawaran ini saya terima dengan senang hati. Rupanya memang ada jiwa kultur Melayu yang serupa dengan orang Indonesia, yaitu bahwa karena merasa sama-sama jauh dari kampung halaman, maka kami menjadi seperti saudara saja layaknya.

 

Pagi tadi saya datangi rumahnya yang merangkap sebagai tempat usahanya. Orang Philipina yang bernama Rodel Bulaong ini menjalankan usaha jasa pengiriman barang ke Philipina. Rupanya memang cukup banyak perantau asal Philipina di Alaska ini yang sudah menjadi WNA (warga negara Amerika). Di kota Juneau saja ada lebih 6.000 orang, belum lagi di kota-kota lainnya termasuk kota terbesarnya Anchorage. Maka tidak mengherankan setiap ada pemilihan gubernur negara bagian, si calon gubernur biasanya menyempatkan “sowan” ke warga asal Philipina guna meminta dukungan. Itu karena prosentase pemilih asal Philipina cukup untuk mengangkat angka perolehan suara si calon Gubernur.

 

Memenuhi janjinya, Mas Rodel seharian tadi mengantarkan saya jalan-jalan keliling kota Juneau, termasuk ke downtown dan menyeberang ke Pulau Douglas dengan menggunakan kendaraannya. Kalau hari Selasa yang lalu sebagai sopir hotel dia mengantar-jemput saya ke Mendenhall Glacier dan saya memberinya tip sebagaimana menjadi kebiasaan di Amerika. Seharian tadi sebagai kawan dia menemani saya keliling kota dengan cukup saya yang membeli bensinnya.

 

Rencana semula saya memang mau sewa kendaraan saja biar lebih bebas ngeluyur kemana-mana, tapi rupanya dilarang oleh Mas Rodel yang baik ini. Dikatakannya bahwa sewa kendaraan di Juneau sangat mahal dibandingkan kota-kota lain di Amerika, demikian halnya dengan taksi. Untuk dua hari sewa kendaraan bisa menghabiskan US$100-200. Demikian halnya kalau di kota-kota lain naik taksi untuk jarak kira-kira dari hotel tempat saya menginap ke downtown berkisar US$10, di Juneau bisa US$30.    

 

***

 

Siang tadi saya ke downtown, selain ingin jalan-jalan melihat pusat kota yang tidak besar dan tidak ramai ini, juga mencari sekedar barang-barang souvenir. Rupanya banyak toko-toko pada tutup, ada banyak juga yang tutup karena sedang dalam perbaikan. Katanya karena ini bukan musim liburan sehingga tidak banyak pengunjung. Alasan ini masuk akal kalau mengingat Juneau bukanlah kota besar dan relatif terisolir terhadap daratan Amerika lainnya. Setidaknya untuk mencapai kota ini tidak dapat dicapai lewat jalur darat. Umumnya lewat udara, sedang kalau lewat laut bisa dua hari atau lebih.

 

Langit yang mendung, hujan rintik-rintik dan hawa dingin memang membuat acara jalan-jalan siang di kota Juneau menjadi kurang leluasa, meskipun ya saya lakukan juga. Dari downtown saya menyeberang ke Pulau Douglas melalui Douglas Bridge sebagai satu-satunya jembatan penghubung antara kota Juneau dan Pulau Douglas. Di sepanjang pantai selatan Juneau berada beberapa dermaga, antara lain Aurora dan Harris. Banyak perahu-perahu motor pesiar milik perorangan yang ditambatkan di sini. Memandang ke arah utara tampak puncak-puncak pegunungan yang berwarna putih karena diselimuti salju.

 

Sebelum saya berada di Juneau, saya membayangkan di kota ini akan menyewa kendaraan dan lalu saya akan traveling menuju ke kota-kota lain di Alaska. Kini kejadiannya tidak semudah yang saya bayangkan. Karena sekalipun saya membawa kendaraan sendiri, praktis saya tidak akan dapat kemana-mana kecuali keliling di seputaran kota Juneau saja. Untuk dapat menuju ke kota lain seperti Anchorage atau Fairbank, saya harus terbang dulu dari Juneau, baru di sana sewa kendaraan. Sementara ongkos pesawat tergolong cukup mahal dibandingkan jarak yang sama di daratan utama Amerika.

 

Kalaupun dipaksakan mau berkendaraan, maka harus menyeberang menggunakan jasa kapal feri menuju ke arah hulu sungai Yukon yang dapat memakan waktu 6 jam lebih untuk menyeberang ke kota lain. Selanjutnya dari sana berkendaraan melewati satu-satunya jalan darat yang ada, masuk lebih dahulu ke wilayah negara Canada. Karena itu hanya mereka yang benar-benar punya waktu longgar yang mau menggunakan cara ini.

 

Saya menyadari bahwa waktunya memang tidak tepat untuk berwisata ke Alaska. Waktu yang tepat adalah di saat musim panas. Oleh karena itu yang ingin saya lakukan saat ini adalah mengeksplorasi sebanyak-banyaknya kawasan di seputaran kota Juneau yang memungkinkan untuk dijangkau.

 

***

 

Jum’at siang tadi “tepaksa” saya tidak Jum’atan. “Lha piye, wong ora ono mesjid” (tidak ada masjid) di Juneau. Menurut daftar masjid di Amerika yang saya miliki, di Alaska hanya ada di kota Anchorage yang jaraknya sekitar 800 mil (1.280 km) dari Juneau dan dapat ditempuh dengan pesawat udara selama dua jam.

 

Saya coba-coba membolak-balik buku tilpun tidak saya ketemukan masjid atau komunitas muslim di Juneau. Saya mencoba melacak beberapa nama yang berbau Arab dalam buku tilpun, dengan maksud akan saya tilpun untuk saya tanyai dimana bisa Jum’atan. Tapi ya tidak ketemu wong mencarinya secara acak, mau membaca satu-persatu daftar buku tilpun khawatir keburu sudah Ashar. Belakangan teman baru saya yang juga asal Philipina berceritera bahwa dia pernah ketemu keluarga muslim di Juneau, barangkali ada beberapa keluarga.

 

Sore tadi saya diundang diajak makan di rumah seorang teman asal Philipina juga. Bersama Mas Rodel sekitar jam 06:30 sore meninggalkan hotel menuju ke rumah seorang teman baru bernama Lorenzo Jaravata. Di depan hotel ada billboard yang selalu menunjukkan waktu dan suhu udara. Dari billboard yang tampak dari jendela kamar hotel, sore tadi hingga malam ini suhu udara terbaca 36 derajat Fahrenheit (sekitar 2 derajar Celcius). Bagi saya bukan hanya cukup dingin, melainkan membuat saya kedinginan berada di luar.

 

Mas Lorenzo yang bekerja sebagai salah seorang Manager Bank di Juneau ini rupanya hobinya memasak. Kamipun lalu dijamu di rumahnya. Sambil ngobrol duduk di depan dapur apartemennya, sambil dia mempersiapkan masakan. Untuk kesekian kalinya selama di Alaska ini saya ketemu orang-orang yang sangat baik, setidak-tidaknya memperlakukan saya sebagai seorang sahabat meskipun baru kenal.

 

Pulang dari rumah Mas Lorenzo jadi ngantuk kekenyangan. Biasa, perut kampung. Maka ajakan Mas Rodel untuk menjemput beberapa teman perempuannya lalu menuju ke diskotik malam ini saya tolak dengan awalan “I’m very sorry”. Toh, sahabat baru saya ini memahami penolakan saya. Lha wong perut lagi kemlakaren (kekenyangan) kok diajak njoget. Yang saya khawatirkan sebenarnya bukan njoget-nya, melainkan kalau sepulang dari diskotik kembali ke hotel terus saya tidak bisa ngomong "I'm sorry"..... 

 

 

Yusuf Iskandar

 

 

[Sebelumnya][Kembali][Berikutnya]